Malam ini, seorang teman dekatku kehilangan Bapaknya. Kehilangan dalam arti, Bapaknya pulang kepada Tuhan. Namun, selama perjanalan menuju rumah sakit tidak setitik air mata pun keluar dari kedua matanya. Sesampainya di rumah sakit, ia bertemu Ibunya. Sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, ia coba menguatkan dirinya untuk tidak menangis di hadapan Ibu yang sedang tersedu-sedu.
"Bu.. yang kuat yah. Bapak sudah gak sakit lagi," ucapnya dengan lembut sambil memeluk sembari mengusap tengkuk Ibunya.
Ibu dengan suara serak dan sesekali mensisihkan ingusnya berkata, "Dek, kamu yang urus surat-surat administrasi Bapak ya. Bapak sudah dibawa ambulance pulang."
"Iya, Bu," Ia langsung salim dan mencium tangan Ibunya yang hendak pulang duluan.
Dengan langkah gontai, Ibu pulang sambil dituntun saudaranya.
Selama beberapa jam mengurus seluruh administrasi di Rumah Sakit, kedua kakaknya mulai telfon. Mereka ingin agar ia cepat pulang untuk bertemu Bapak.
"Iya.. sebentar lagi ke sana," intonasi suaranya sudah mulai lemah. Mungkin karena ia lelah.
Sesampainya di rumah, ia disambut oleh sanak saudara, teman-teman, dan tetangga yang menepuk pundak lalu memeluknya mengucap turut berbelasungkawa. Namun, tetap saja ia berusaha tegak dan tegar, lalu berkata, "Iya, kalo gak kuat bukan saya namanya." sambil mengulas senyum.
Seteah sambutan bela sungkawa, sempat-sempatnya ia berkelakar,"Bapak gue masuk partai Golkar, jadi di rumah banyak bendera kuning gini," Aku hanya tersenyum dan mencoba tertawa untuknya.
Ia langsung menghampiri jasad Bapaknya, duduk di sampingnya, lalu membuka tutupan wajah mayit. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga bapaknya. Aku mendengar sayup-sayup bisikannya. Ia berbisik, "Saya sudah ikhlas bapak pulang ke Tuhan. Saya akan jaga keluarga untuk bapak."
Malam itu, aku tidak melihat ia meninggalkan jasad Bapaknya sedikitpun. Lantunan doa selalu ia panjatkan sampai pada akhirnya menjelang Subuh. Ibunya sudah mengingatkan agar ia istirahat dulu. Namun, ia bersikeras tetap di sana melagukan doa di hadapan Bapak untuk yang terakhir kali.
Ia pernah cerita, sebelum Bapak meninggal, Bapak sakit darah tinggi. Ia membujuk agar Bapak mau dibawa ke rumah sakit. Sampai pada akhirnya pada momen itu ia berani untuk berbicara jujur apa yang dirasakannya selama ini sambil menangis di depan Bapak. Akhirnya, rayuan itu berhasil. Namun, keputusan Tuhan terhadap batas hidup seseorang tak bisa diinterfensi. Selang-selang rumah sakit secanggih apapun tidak bisa menahan Ruh yang sudah saatnya keluar dan kembali pulang ke pangkuan-Nya. Bapak pulang. Pergi meninggalkan tubuhnya yang selalu memberikan rasa sakit.
Saat pagi Bapak dikuburkan. Ia masuk ke dalam liang lahat untuk membantu proses pemakaman. Ia menjadi orang yang terakhir memanjatkan doa dan menciumkan wajah Bapaknya ke tanah. Ia juga yang menimbun kembali tanah. Dan di saat itu, ia tetap tegar dan kembali berusaha menguatkan Ibunya yang hampir pingsan.
Sepulangnya, ia baru bisa beristirahat. Setelah mandi, ia segera Sholat Dzuhur kemudian tidur.
Dua minggu berselang, ia kembali melakukan aktivitas. Satu kali ia bertemu dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya dalam satu proyek iklan garapannya. Entah perempuan ini seakan menariknya dalam pusaran dunia baru. Ia bilang seperti masuk dalam dunia antara kehidupan dan kematian. Dalam dunia itu, tak ada waktu, yang ada hanyalah kefanaan. Tersisa antara keduanya bersama dengan pemikiran-pemikiran dan diskusi yang tak pernah habis. Akhirnya mereka berdua pergi dan tak pernah kembali. Tidak tahu apakah tersesat dalam dunia itu, atau berakhir bahagia dalam letupan kasih masing-masing.
-Arfyana Citra R (2017)