Jumat, 21 November 2014

DILEMA ANAK KEMARIN SORE

Aku dilema antara aku harus beradu peran sebagai seorang anak atau manusia? Aku terkungkung oleh kedua status yang Tuhan berikan untukku. Bukan hanya status, tapi hak!
Ketika aku menjadi seorang anak, aku harus taat kepada asas mayoritas, yaitu kebijakan orang tua yang menjadi sentral di mana hidup seorang anak akan berjalan dengan lancar dan semestinya. Dijalan Tuhan.
“Ridho mereka adalah ridho Tuhan juga." Kalimat ini bukan seperti kata bijak namun seperti senjata yang membuat aku kalah dan terkapar lemah sebelum perang . Takut untuk menata kata dan argumen untuk ditegakkan. Begitu juga ketika semburat kata muncul dari lidah semua orang , lidah yang belum merasakan kegetiran hidup ketika terkungkung dalam diri yang bergumul.
Atau aku menjadi seorang manusia seutuhnya yang berhak memilih apa yang diinginkan untuk hidupnya? Yang menganulir segenap kata-kata yang bermakna anut nan indah serta dapat membawa seseorang ke surga? Seorang manusia yang mencoba mencari jalannya sendiri, dan bukan mengikuti jalan orang lain yang lebih mahir akan kehidupan.
Aku dilema karena aku anak kemarin sore. Aku masih tunas di tanah keluarga. Aku tak bermodal kepedihan dan kegetiran hidup sehingga permulaanku akan kehidupan dijadikan sebuah kekhawatiran  yang sebegitu dahsyatnya.
Aku tahu selalu ada kebijaksanaan di antara keputusan-keputusan mereka, selalu ada perencanaan hebat jangka panjang yang sudah terkoordinasi dalam akalnya, dan selalu ada yang terbaik untukku di balik semua bilangnya. Tapi itu bukanlah sebuah kewibawaan yang bisa kulanggar, itu realita mutlak dari Tuhan bahwa inti dari kehidupanku adalah mereka. Orang tua yang “mengerti” semua hasil daripada keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan kehidupan.
Lalu aku? Aku tak bermodal kepedihan. Sehingga memang bukan kemahiranku untuk menganggit masa dan waktuku dengan mandiri, aku perlu mereka dan mereka merasa sangat diperlukan, pikirku dan juga mereka.
Aku tahu mereka cinta dan tak ingin tunas mereka tumbuh dengan kecacatan fana, tapi aku perlu sedikit cacat untuk dijadikan pelecut menggapai dan belajar tentang kesempurnaan dan keabsurdan daripada dunia. Namun benak mereka tetap berkata “TIDAK” dan itu lah hak. Sehingga bukan semesta yang memberikan aku kecacatan itu, tapi mereka sendiri. Regulasi mereka. Maksud dari peraturan dan keteraturan akan kehidupan yang menjauhkan ku dari jalan kesesatan. Sebuah kewajiban katanya.
Memang terbukti dari aku yang selalu lewat dari jalan kesesatan itu. Tapi apakah hasil dari kebijaksaan dan kewibawaan selalu menumbuhkan keanggunan? Tidak.
Aku tumbuh sambil memelihara bibit-bibit penyakit. Kuberi pupuk berupa kebencian dan sumpahan kepada hidup, karena hidup membuat otak dan akalku yang saling bersitegang satu sama lain. Namun bukan hanya itu saja tapi darahku bergejolak karena konflik antara akal dan batin yang semakin lama bersifat fundamental, menjadi sebuah dasar dan kebiasaan yang tak bisa ditampik lagi dari realita mutlak seorang aku. Menghasilkan sesosok manusia minoritas.
Haah…
Entah. Akan aku tunggu saat akal dan hati yang akan mengadu dan menyatakan damai agar kehidupan tak sepelik dan sejatuh ini.
Ini salah satu sajak yang kutemukan dalam buku-saku hitam milikku yang entah tiba-tiba muncul lagi setelah sekian lama hilang.
Jalan. Jalanan berliku, terlalu instabilitas.
Jalan. Jalanan menanjak, menguras daya upaya.
Jalan. Jalan buntu adalah ketika kau jatuh ke lubang terdalam neraka.
-Arfyana Citra Rahayu-


Minggu, 02 November 2014

Hai Kamu yang di Nirwana Hidupmu

Hai kamu yang jauh di nirwana hidupmu!
Aku di sini melagu rindu sampai mimpi juga mengindahkanmu.
Jangan cubit aku! Nanti realita kan bangunkanku.
Di sana bersamamu, aku bersemu. Lalu kamu bilang, "Jangan sampai sakit" sembari mengelus ubun-ubunku kemudian aku tersipu.

Selesai mimpi, aku melihat kembali ke tepi.
Saat kamu mainkan simfoni dari senar berseni. Sekejap kurekam, kusimpan, kemudian kuaksi-reaksikan dalam akal dan telinga saat hati mulai temaram.
Sampai saat ini, kuanggap kamu di sini..
Aku tersenyum dalam hati dan percaya bahwa memang selalu ada kamu walau tak di sini.

-Arfyana Citra Rahayu-

Sabtu, 01 November 2014

Maafku

Aku ingat dimana kita berawal. Disaat dua hati yg kembar rasanya sulit dibedakan. Apa hari ini benar akhir dr cerita? Mungkin.
Drama rasa tidak berperan.
Tapi hati mulai berdialog karena lagi diujung apa kita akan berteman?
Lalu ku cari. Ku gali sampai ku tau mungkin ini emosi.
Aku ingat lagi dimana aku sendiri aku rindu masa kita berelegi. Berdua kita bersatu menjadi.
Ini aku. Seorang yg tak tahu diri.
Meminta agar kamu tahu diri bahwa kamu tatkala bintang tuk malam yg sepi.
Tetap disisi. Karena cinta baik untuk kita disini. Please stay with me.

Arfyana Citra Rahayu

Sajak Tuk Kemarin Sore

Haramkah ketika air mata jatuh tuk meretas kata?
Adilkah ketika hanya ia yang bisa meluluhkan rasa yang tertunda? Tertunda karena memang tak layak dilihat.
Bila tak adil, apa Tuhan ciptanya dengan ragu?
Bila tidak juga. Lalu untuk apa tercipta? Apa hanya untuk kita yang bodoh dan dirundung lalu?
Sejak kemarin, sampai detik ini aku tak tahu.
Andai...
Andai kata adalah air mata, ku harap kamu sadar. Sadar bahwa ini tak hanya dilihat sekedar.
Andai rasa adalah air mata, ku harap kamu sadar. Bila rasa kemudian tak hanya cahaya terpendar.
Mohon kamu mengerti, karena kamu manusia yang punya jiwa dan berhati.
Bahwa akhir akan akhir ketika aku hanya terkapar, aku menangis bukan kemudian aku tersandar.
Tapi aku perlu kamu, lalu aku bersandar.
Sehingga aku cepat bebas dari gelap, lalu kamu bangunkan ku dari lelap.
Nyatanya, mimpi memang permainan imajinasi. Tak ada realita tuk orang yang tinggi ekspektasi.
Aku atau kamu yang sepertinya punya asasi?
Mungkin kamu, kamu yang disana seperti disisi.

Arfyana Citra Rahayu (01/Nov/2014)