Aku dilema antara aku harus beradu
peran sebagai seorang anak atau manusia? Aku terkungkung oleh kedua status yang
Tuhan berikan untukku. Bukan hanya status, tapi hak!
Ketika aku menjadi seorang anak,
aku harus taat kepada asas mayoritas, yaitu kebijakan orang tua yang menjadi sentral
di mana hidup seorang anak akan berjalan dengan lancar dan semestinya. Dijalan Tuhan.
“Ridho mereka adalah ridho Tuhan
juga." Kalimat ini bukan seperti kata bijak namun seperti senjata yang membuat
aku kalah dan terkapar lemah sebelum perang . Takut untuk menata kata dan
argumen untuk ditegakkan. Begitu juga ketika semburat kata muncul dari lidah
semua orang , lidah yang belum merasakan kegetiran hidup ketika terkungkung
dalam diri yang bergumul.
Atau aku menjadi seorang manusia
seutuhnya yang berhak memilih apa yang diinginkan untuk hidupnya? Yang menganulir
segenap kata-kata yang bermakna anut nan indah serta dapat membawa seseorang ke
surga? Seorang manusia yang mencoba mencari jalannya sendiri, dan bukan mengikuti jalan orang lain yang lebih mahir akan kehidupan.
Aku dilema karena aku anak
kemarin sore. Aku masih tunas di tanah keluarga. Aku tak bermodal kepedihan dan
kegetiran hidup sehingga permulaanku akan kehidupan dijadikan sebuah
kekhawatiran yang sebegitu dahsyatnya.
Aku tahu selalu ada kebijaksanaan
di antara keputusan-keputusan mereka, selalu ada perencanaan hebat jangka
panjang yang sudah terkoordinasi dalam akalnya, dan selalu ada yang terbaik
untukku di balik semua bilangnya. Tapi itu bukanlah sebuah kewibawaan yang bisa kulanggar,
itu realita mutlak dari Tuhan bahwa inti dari kehidupanku adalah mereka. Orang
tua yang “mengerti” semua hasil daripada keputusan-keputusan dan
kebijakan-kebijakan kehidupan.
Lalu aku? Aku tak bermodal
kepedihan. Sehingga memang bukan kemahiranku untuk menganggit masa dan waktuku
dengan mandiri, aku perlu mereka dan
mereka merasa sangat diperlukan, pikirku dan juga mereka.
Aku tahu mereka cinta dan tak
ingin tunas mereka tumbuh dengan kecacatan fana, tapi aku perlu sedikit cacat untuk
dijadikan pelecut menggapai dan belajar tentang kesempurnaan dan keabsurdan
daripada dunia. Namun benak mereka tetap berkata “TIDAK” dan itu lah hak.
Sehingga bukan semesta yang memberikan aku kecacatan itu, tapi mereka sendiri.
Regulasi mereka. Maksud dari peraturan dan keteraturan akan kehidupan yang
menjauhkan ku dari jalan kesesatan. Sebuah kewajiban katanya.
Memang terbukti dari aku yang
selalu lewat dari jalan kesesatan itu. Tapi apakah hasil dari kebijaksaan dan
kewibawaan selalu menumbuhkan keanggunan? Tidak.
Aku tumbuh sambil memelihara
bibit-bibit penyakit. Kuberi pupuk berupa kebencian dan sumpahan kepada hidup,
karena hidup membuat otak dan akalku yang saling bersitegang satu sama lain.
Namun bukan hanya itu saja tapi darahku bergejolak karena konflik antara akal
dan batin yang semakin lama bersifat fundamental, menjadi sebuah dasar dan kebiasaan yang tak
bisa ditampik lagi dari realita mutlak seorang aku. Menghasilkan sesosok manusia minoritas.
Haah…
Entah. Akan aku tunggu saat akal dan
hati yang akan mengadu dan menyatakan damai agar kehidupan tak sepelik dan
sejatuh ini.
Ini salah satu sajak yang
kutemukan dalam buku-saku hitam milikku yang entah tiba-tiba muncul lagi
setelah sekian lama hilang.
Jalan. Jalanan berliku, terlalu
instabilitas.
Jalan. Jalanan menanjak, menguras
daya upaya.
Jalan. Jalan buntu adalah ketika
kau jatuh ke lubang terdalam neraka.
-Arfyana Citra
Rahayu-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar