Aku merasa di sini bukanlah lagi tempat berlindung yang tepat, dalam kamar dewa di tingkatan paling atas. Ini sudah hari ke tiga dan persisnya sudah tiga hari aku belum tidur sejak pertama kali pindah ke sini. Aku masih merasa aura kejahatan mengikuti, ia bersembunyi di pori-pori dinding. Aku tahu persis, ketika aku lengah, ia sudah siap dengan ancang-ancangnya untuk menerkam. Ah sial...
Lamunan itu buyar begitu saja ketika terdengar suara ketukan pada pintu, Tok tok, aku bergidik. Suara ketukannya tidak lembut dan tenang seperti ketukan Jupiter, ini lebih keras dan menggema.
Pintu emas berhiaskan relik-relik tulisan Yunani kuno berwarna perak sedikit terbuka, perlahan-lahan membuka dari celah yang sedikit lama-lama melebar, melebar, dan memperlihatkan sosok yang aku kenal. Diriku sendiri.
"Kau?! Mau apa ke sini?!" teriakku dengan nada panik sambil mencari benda yang bisa kulemparkan. Aku menengok ke segala arah dengan gelagapan untuk mencari benda yang tepat, aku langsung meraih jambangan kaca berisi bunga dengan serbuk pelangi di atas meja perak di sebelah kanan tempat tidurku.
"Rasakan ini! Pergi kamu! PERGIIIII!!!!" jambangan itu kulemparkan sekuat tenaga ke arahnya. Mahluk itu langsung menguap ketika benda yang kulemparkan persis mengenai perutnya. Jambangan langsung pecah mengenai lantai pualam dan menyisakan serakan serbuk pelangi serta pecahan kaca.
"Yes! Rasakan itu!" kataku dengan girang.
Senyum puasku langsung berubah menjadi teriakan yang tak kalah besar saat pertama kali melihat sosok tadi. Wussss, kamarku dipenuhi kabut putih dengan bau apak serta angin kencang yang mengibaskan rambut dan seprai putih. Pintu-pintu lemari di sudut ruangan ikut terbuka lebar. Ada apa ini?!, batinku. Aku hanya bisa menganga ketakutan tanpa suara karena kerongkonganku tercekat.
Kabut pun mulai berpilin tepat di serakan jambangan kaca yang pecah, kecepatannya yang luar biasa membuatnya lama-kelamaan memadat lalu berubah menjadi sosok yang sama dengan ragaku, Ia benar-benar nyata.
Kabut pun mulai berpilin tepat di serakan jambangan kaca yang pecah, kecepatannya yang luar biasa membuatnya lama-kelamaan memadat lalu berubah menjadi sosok yang sama dengan ragaku, Ia benar-benar nyata.
Sosok itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi geliginya yang berbehel. Ia jalan terpincang menuju ke arahku dengan metodis.
Aku membeku di atas tempat tidur, tidak mampu bergerak dan hanya terperangah. Aku seperti ketindihan dalam tidur. Aku pasrah melihat sosok itu semakin mendekat lalu duduk tepat di depanku. Ia tersenyum puas.
"Kau tadi bertanya, kenapa aku ke sini?" suaranya sedikit terbisik.
Aku mencium bau apak dan tengik, entah itu dari tubuh atau mulutnya. Aku langsung bersin dan reflek mengucek hidungku sampai memerah. Astaga, kuncian itu sudah hilang!, aku langsung memutar tubuhku ke kanan dengan cepat dan berniat kabur, tapi sosok itu tidak kalah cepat untuk mengunciku lagi.
"Berusaha kabur lagi? Kau selalu berusaha kabur dari dirimu sendiri! Dari kenyataan hidupmu! Puas kau meninggalkanku di pinggiran malam? Puas kau melihatku dilumat dan dicaci 'kebaikan'mu itu? Yang kau junjung tinggi dan dipamerkan?"
"Puas katamu? Bagaimana aku puas kalo tidak melihat langsung kebaikanku melumat sukmamu sampai habis! Aku akan puas ketika kau hilang dan tak lagi memunculkan sosok jelekmu di sini," jawabku dengan mata melotot.
Sedetik setelah itu, ia langsung mencekik leherku, "Keparat kau mahluk kerdil! Melototlah terus sampai kamu kehabisan nyawa!" aku berusaha meraih tangannya tapi hasilnya nihil, aku seperti berusaha meraih udara, tidak ada tangan yang mencekikku.
"Tak ada gunanya juga kalo aku membunuhmu di sini," perlahan cekikannya meregang dan lama-lama lepas.
Badanku langsung terhempas ke depan, aku langsung mengambil napas sebanyak-banyaknya, "Hhh hhh hhh, keterlaluan kau."
"Keterlaluan ya? Kau yang keterlaluan, Rif! Kau memanfaatkan aku untuk menjadikan kau manusia yang penuh tanda tanya. Kau memanfaatkan aku, mengatasnamakan namaku agar kamu bisa ditanya, dipertanyakan, dan diberikan perhatian," sosoknya semakin kuat, baunya semakin membusuk. "Ketika kau sudah puas menggunakannya kau hina dan hempaskan aku seperti sampah!"
Aku menutup rapat lubang hidungku karena tidak kuat dengan busuknya, "Kenapa kamu menutup hidung?! Tidak kuat dengan baumu sendiri? Busukmu sendiri, ha?!"
Aku diam karena sudah melihat kunang-kunang terbang di sekelilingku, aku bersyukur sebentar lagi aku pingsan.
Mahluk itu terus mengoceh, "Ketika aku menyadari betapa bodohnya aku dimanfaatkan, perasaan untuk menyelubungimu dengan kegelapan semakin besar. Dan sekarang saat yang tepat, kau akan habis kutelan hidup-hidup!"
Mulut mahluk itu melebar, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan aku sudah lihat sosok mayatku seperti apa di pantulan matanya. Detik ini juga aku diterkamnya. Detik ini aku mati.
"AAAAAAAAAAAH!!!!!!! Pergi kau Jahannam!!!!!" teriakku geram dengan sisa-sisa tenaga.
"KAU YANG JAHANNAM!!! SINI KAU!"
Detik-detik aku diterkam, pintu emas terhempas dan terbanting. Masuk para petinggi Olympus, Jupiter memimpin membawa senjata terbaiknya. Sosok itu masih tetap berada di tempatnya, masih membuat ancang-ancang untuk menerkamku.
Jupiter tidak menggubrisnya dan langsung berlari ke arahku. Seketika aku merasakan cubitan kecil di lengan kananku, aku merasa ada aliran air masuk ke dalam tubuh. Aku tidak melihat lagi sosok menyeramkan diriku, hanya ada gelap, hitam, kelam, dan tenang.
"Terimakasih Jupiter, kau selalu menyelamatkanku," bisikku.
-Arfyana Citra Rahayu-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar