Senin, 27 November 2017

Kepergian

Malam ini, seorang teman dekatku kehilangan Bapaknya. Kehilangan dalam arti, Bapaknya pulang kepada Tuhan. Namun, selama perjanalan menuju rumah sakit tidak setitik air mata pun keluar dari kedua matanya. Sesampainya di rumah sakit, ia bertemu Ibunya. Sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, ia coba menguatkan dirinya untuk tidak menangis di hadapan Ibu yang sedang tersedu-sedu.

"Bu.. yang kuat yah. Bapak sudah gak sakit lagi," ucapnya dengan lembut sambil memeluk sembari mengusap tengkuk Ibunya.

Ibu dengan suara serak dan sesekali mensisihkan ingusnya berkata, "Dek, kamu yang urus surat-surat administrasi Bapak ya. Bapak sudah dibawa ambulance pulang."

"Iya, Bu," Ia langsung salim dan mencium tangan Ibunya yang hendak pulang duluan.

Dengan langkah gontai, Ibu pulang sambil dituntun saudaranya.

Selama beberapa jam mengurus seluruh administrasi di Rumah Sakit, kedua kakaknya mulai telfon. Mereka ingin agar ia cepat pulang untuk bertemu Bapak.

"Iya.. sebentar lagi ke sana," intonasi suaranya sudah mulai lemah. Mungkin karena ia lelah.

Sesampainya di rumah, ia disambut oleh sanak saudara, teman-teman, dan tetangga yang menepuk pundak lalu memeluknya mengucap turut berbelasungkawa. Namun, tetap saja ia berusaha tegak dan tegar, lalu berkata, "Iya, kalo gak kuat bukan saya namanya." sambil mengulas senyum.

Seteah sambutan bela sungkawa, sempat-sempatnya ia berkelakar,"Bapak gue masuk partai Golkar, jadi di rumah banyak bendera kuning gini," Aku hanya tersenyum dan mencoba tertawa untuknya.

Ia langsung menghampiri jasad Bapaknya, duduk di sampingnya, lalu membuka tutupan wajah mayit. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga bapaknya. Aku mendengar sayup-sayup bisikannya. Ia berbisik, "Saya sudah ikhlas bapak pulang ke Tuhan. Saya akan jaga keluarga untuk bapak."

Malam itu, aku tidak melihat ia meninggalkan jasad Bapaknya sedikitpun. Lantunan doa selalu ia panjatkan sampai pada akhirnya menjelang Subuh. Ibunya sudah mengingatkan agar ia istirahat dulu. Namun, ia bersikeras tetap di sana melagukan doa di hadapan Bapak untuk yang terakhir kali.

Ia pernah cerita, sebelum Bapak meninggal, Bapak sakit darah tinggi. Ia membujuk agar Bapak mau dibawa ke rumah sakit. Sampai pada akhirnya pada momen itu ia berani untuk berbicara jujur apa yang dirasakannya selama ini sambil menangis di depan Bapak. Akhirnya, rayuan itu berhasil. Namun, keputusan Tuhan terhadap batas hidup seseorang tak bisa diinterfensi. Selang-selang rumah sakit secanggih apapun tidak bisa menahan Ruh yang sudah saatnya keluar dan kembali pulang ke pangkuan-Nya. Bapak pulang. Pergi meninggalkan tubuhnya yang selalu memberikan rasa sakit.

Saat pagi Bapak dikuburkan. Ia masuk ke dalam liang lahat untuk membantu proses pemakaman. Ia menjadi orang yang terakhir memanjatkan doa dan menciumkan wajah Bapaknya ke tanah. Ia juga yang menimbun kembali tanah. Dan di saat itu, ia tetap tegar dan kembali berusaha menguatkan Ibunya yang hampir pingsan.

Sepulangnya, ia baru bisa beristirahat. Setelah mandi, ia segera Sholat Dzuhur kemudian tidur.

Dua minggu berselang, ia kembali melakukan aktivitas. Satu kali ia bertemu dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya dalam satu proyek iklan garapannya. Entah perempuan ini seakan menariknya dalam pusaran dunia baru. Ia bilang seperti masuk dalam dunia antara kehidupan dan kematian. Dalam dunia itu, tak ada waktu, yang ada hanyalah kefanaan. Tersisa antara keduanya bersama dengan pemikiran-pemikiran dan diskusi yang tak pernah habis. Akhirnya mereka berdua pergi dan tak pernah kembali. Tidak tahu apakah tersesat dalam dunia itu, atau berakhir bahagia dalam letupan kasih masing-masing.

-Arfyana Citra R (2017)




"Kamu adalah satu keping puzzle yang menyusun takdirku. Dan kamu kepingan terpenting."

Senin, 16 Oktober 2017

Di mana

Air mata menjelma menjadi sajak yang berteriak-teriak kepada jarak
Dekatkan aku!
Aku berlari
Melompat
Lalu terjatuh
Dekatkan aku!
Aku berdiri
Berlari
Lalu melompat
Dan terjatuh
Aku ingin dekat dengan-Mu!
Aku diam
Tenggelam
Mulai fajar hingga temaram
Jiwaku karam
Dia yang katanya Maha Mendengar hanya diam
Domba-domba yang kehilangan arah bisa berteriak lalu ditemukan tuannya
Tapi aku, manusia yang katanya mahluk paling sempurna tidak diriasaukan apalagi di rasa kehadirannya

Sampai dalam diam yang panjang
Aku tak lagi berteriak pada jarak atau pada-Nya
Hanya bisa menangis mengadu sepi
Mengais sisa-sisa rasa yang pernah kupendam hanya untuk-Nya
Lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa hanya untuk sekadar bertanya

Tuhan.. Kamu ada di mana?
-Arfyana Citra R 

Rabu, 28 September 2016

LALU, SIAPA AKU?

Lanjutan balasan pesannya begini, “Aku hanya menyarankan untuk kamu tanya lagi pada dirimu, siapa dirimu sesungguhnya? Kamu yang lebih tahu siapa kamu, bukan? Seperti halnya kamu pun tidak mengenalku. Memang kita belum berkenalan sih, ah sudahlah aku tidak sedang menjadi seorang pelawak. Tidak lucu.”

“Ya memang apanya yang lucu?” kataku bicara sendiri.

“Silahkan pandang dan terka siapa aku menurut kamu. Kamu bebas, aku menghargai kebebasanmu, yang jelas aku adalah aku. Semoga suatu saat Tuhan memberikan kesempatan kita bertemu untuk berkenalan secara langsung. Sekaligus aku menepati janji pada ceritaku, bukan cerita kita.”

“Yahh.. kirain nepatin janji traktir kopi hahahaha.” peluang ditraktir kopi pun kandas begitu saja.

“Aku tidak berharap banyak untuk saat ini tentang kita beberapa waktu ke depan, tapi waktu bisa saja berubah. Hanya Tuhan yang tahu karena aku masih berkelana dan kebetulan menemukanmu sedang terpenjara ketika sebelum terjadinya bulan purnama apogee terkecil tahun ini. Ohiya, bukan karena oknum lain yang memberikan kontakmu, ini tentang aku dan kamu, sungguh. Aku yang menemukanmu.”

Yasudahlah, aku tidak mau bertanya lagi mengenai di mana dan dengan cara apa kamu menemukanku. Kadangkala Tuhan mempertemukan  lewat cara yang tidak pernah bisa kita kira. Walaupun aku tidak pernah mengalami keajaiban, aku tidak bisa menyangkal bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Aku masih percaya bahwa ada hukum alam yang bisa terpatahkan sehingga dalam kasus ini, aku cukup menerima mungkin ditemukannya aku  karena faktor “keajaiban”.
.
Catatan penting untukmu! Aku tidak peduli siapa kamu. Jadi jangan terlalu berharap lebih.

Lanjutnya, “Ohiya, lain kali sajalah berdiskusi tentang hubungan. Aku mau kamu coba kenali lagi saja dulu siapa kamu menurutmu? Selamat istirahat.”

 “Ketika ditanya aku ini siapa, aku yang aku dengan semua yang aku punya saat ini. masa untuk mengenal siapa aku mungkin tidak akan pernah selesai sampai aku harus dilahirkan kembali. Namun, rasanya untuk kembali menggali “siapa aku” sudah cukup untuk saat ini karena aku sudah pernah mengalami tenggelam ke dalam kegelapanku sendiri dan itu cukup mengerikan. Jadi intinya,aku adalah aku dengan segala hal yang kupunya. Terima kasih,” jawabku.

Esok paginya dia membalas, “Kembali kasih. Selamat menjalani hidupmu yang sekarang. Kuharap kamu siap untuk yang terburuk dan siap kehilangan segala hal yang kau punya tersebut.”

“Iya, aku harap kamu juga begitu.”


“Pasti, terima kasih gadis kesayangan keluarga.”

JAWABAN UNTUK AKU (REVISI KEBEBASAN)

Ternyata kemarin bukan pesan terakhir darinya. Ia membalas, “Ah iya, aku lupa, perasaanmu sepertinya salah, kemarin bukan pesan terakhir. Mari kutunjukkan, ini baru namanya pesan terakhir.”
Lalu muncul satu bubble chat lagi bertuliskan “Pesan terakhir.”

Ternyata selera humormu aneh juga.  Hahaha.

“Teruskanlah dan gunakanlah HAKmu itu untuk membohongi perasaanmu dengan pembenaran dari pemikiran yang orang-orang sampaikan yang dijadikan makanan oleh otakmu. Aku heran ternyata mereka mampu mengambil HAK bebasmu dan membuatmu mengikuti pemikiran-pemikiran mereka,” katanya.

Satu hal yang kutangkap dari balasannya adalah rasa  ketidaksukaan padaku yang tidak bisa merumuskan sendiri makna kebebasan.

Memang benar katamu, makna kebebasan yang kemarin kujawab bukan sebagian dari rangkaian  hidupku. Namun, hal tersebut sedang kupelajari dan sedang kucoba diterapkan dalam pengembaraanku di dunia. Sebab pemikiran itu bisa jadi satu solusi untukku yang seringkali kecewa dan menghakimi kehidupan agar bisa keluar dari inkonsistensi. Sebenarnya masalah terbesarku adalah punya sifat amibisius yang mendambakan kepemilikan mutlak terhadap satu hal. Tapi yasudahlah, hal ini bisa kita bahas di lain kesempatan.

Kembali lagi pada kebebasan. Setelah kupikir-pikir lagi begini kebebasan versi hidupku.  Kebebasan adalah ketika aku dapat terliberasi dari penilaian orang. Musababnya, saat ini aku masih terkungkung dengan apa yang akan mereka katakan tentangku, sebenarnya lebih kepada penilaian mereka. Banyak ketakutan-ketakutan yang muncul, misalnya “Takut pake baju ini, entar dibilang kayak bolang”, “Takut ngomong terlalu banyak entar dibilang sok pinter”, “Takut terlalu deket sama temen cowok entar dikira cabe-cabean.” Padahal kalo dipikir lagi, itu semua bull shit! Tahu apa mereka? Tapi kembali lagi mereka punya kebebasan juga sepertiku, bebas menilai. Tapi satu hal untuk kamu dan kalian ketahui, kalian bukanlah hakim kehidupan. Satu-satunya yang berhak menghakimi hanyalah Tuhan. Pada intinya sih, kebebasanku adalah ketika aku bisa bebas melakukan hal yang aku inginkan. Aku harap ke depannya batasanku bukanlah mereka, tapi hanya tanggung jawab yang bisa menjadi kontrol kebebasanku. 


Sepertinya pembahasanku semakin luas dan tidak sesuai sama konteks yang kita bicarakan. Aku memang suka begini, terlalu banyak cerita sampai-sampai lupa kita tidak sedang membicarakan ini. Lebih baik kita kembali lagi ke topik sebelumnya.  

Selasa, 13 September 2016

JAWABAN UNTUK "AKU" (KEBEBASAN)

Tiba-tiba di suatu pagi, aku menerima satu pesan dari kontak yang bernama "Aku", ia berkata, "Hey Cucu Hawa, dara peliharaan waktu. Bolehkah aku bertanya sesuatu? Apa itu kebebasan?" 
Reflek aku bergidik dan berkata, "Dih siapa dah nih orang. Aneh banget."

Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Esoknya ia kembali mengirimkan pesan, aku rasa ini pesan terakhir darinya. Begini tulisnya, "Selamat pagi, sepertinya aku tidak salah persepsi dan kamu ternyata bukan seorang pemikir. Tapi aku benar-benar salut atas pengendalian dirimu yang terlihat seperti sebuah pengabaian. Sumpah itu keren. Btw, terima kasih sudah membantuku bereksperimen. Kalo kita ketemu, aku traktir kopi. Sampai jumpa." 

Aku hanya membalas, "Terima kasih kembali." 

Dari pesannya yang terakhir, ada banyak pertanyaan dan pernyataan yang muncul dalam benakku. Di antaranya adalah aku tahu ini bukan eksperimen acak yang sampelnya diambil  random sebab pesan ini tiba-tiba datang di saat aku senang membaca dan menulis topik tentang kebebasan. Pasti ada satu oknum yang memberikan kontak Line-ku dan membeberkan informasi kepadanya. Namun, yasudahlah aku anggap ini seperti permainan yang diciptakan Jostein Gaarder dalam buku novel filsafatnya. 

Apakah di sini aku sebagai Sophie dan kamu adalah Alberto Knox? Baiklah kalo begitu. Kita mulai sekarang. Aku akan menjawab pertanyaanmu sesuai dengan apa yang sudah aku mengerti dari beberapa literatur yang sudah kubaca. 

Pertanyaanmu ialah mengenai, "Apa itu kebebasan?" 

Menurutku, kebebasan adalah cinta. Tanpa cinta, kebebasan tidak akan ada. Kita semua memiliki HAK untuk bebas. Namun sebelum aku lebih lanjut membahas kebebasan, kamu harus mengerti dulu apa itu hak. Hak adalah boleh, beda dengan wajib yang berarti harus. Maksudnya, hak boleh digunakan boleh juga tidak digunakan, misalnya aku memiliki hak untuk bebas tapi sekarang aku belum boleh bebas oleh keluarga karena alasan aku masih belum siap menghadapi kejamnya dunia. Aku boleh menggunakan HAK bebasku dan menuntut keluargaku bahwa aku ini manusia dan berhak untuk bebas. Namun di sisi lain, aku juga boleh tidak menggunakannya karena aku sadar bahwa aku memang masih wajar dibatasi dan mendapatkan kebebasan dalam bentuk yang lain, kebebasan berpendapat dan berbicara dalam keluarga misalnya. 

Lalu mengapa aku bilang bahwa kebebasan adalah cinta? Akan aku ulang lagi, bahwa kita semua berHAK untuk bebas. Kita semua berhak mendapatkan kebebasan yang sepaket dengan cinta. Paul Coelho pernah menulis dalam bukunya, orang yang merasa paling bebas adalah orang yang sepenuh hati mencintai. Begitu juga sebaliknya, orang yang mencintai dengan sepenuh hatinya merasa bebas. Ketika orang benar-benar mengerti bahwa dicintai dan mendapat kebebasan adalah hak, maka orang tersebut sadar bahwa dia boleh dan patut menggunakannya. Bila dia benar-benar mencintai pasangannya, dia akan sadar bahwa kita semua butuh cinta begitu juga orang lain. Jadi, di sini ada hubungan yang sinergi ketika kita tahu bagaimana menempatkan diri sendiri dan orang lain. Sayangnya, kebanyakan orang tidak menggunakannya. Orang bangga bila cemburu dengan pasangannya. Bilang bahwa cemburu adalah tanda cinta. Padahal cemburu adalah simbol pembatasan mutlak yang berujung dominasi. Banyak kejadian yang bisa membuktikan kata-kataku, misalnya suami tega membakar hidup-hidup istrinya sendiri karena cemburu. Lalu apa itu benar cinta? HMM. 

Cinta adalah energi dasar dan kebebasan sebagai pondasinya sehingga hubungan antara cinta dan kebebasan tidak bisa saling dipisahkan. Dalam cinta, seharusnya kita tidak bisa menyakiti. Sebab kita bertanggung jawab atas perasaan kita sendiri. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain bila kita merasa sakit hati. Memang sakit ketika kita kehilangan orang yang kita sayang dan cintai. Namun sadarlah, tidak ada yang namanya kehilangan karena orang tidak akan pernah bisa MEMILIKI orang lain. Ingat, kebebasan adalah hak masing-masing orang. Aku boleh menggunakan hakku untuk bebas dan lepas dari kamu. 

Kita boleh cinta, asalkan jangan jadikannya sebagai belenggu. Biarlah dia bebas menghayati dan hidup untuk dunia sebagai zat tunggal. Salah satu kata-kata Kahlil Gibran yang paling aku suka, "Tegaklah sejajar. Namun, jangan terlalu atau terlampau dekat, karena pilar-pilar kuil tidak dibangun terlalu rapat. Pohon jati dan pohon cemara, masing-masing tidak pernah tumbuh di bawah bayangan yang lain."

Pada intinya, inilah kebebasan yang aku tahu. Pengalaman kebebasan sesungguhnya adalah merasakan dan mempunyai hal yang paling dicintai tanpa memiliki. 

-Arfyana Citra R-

Rabu, 17 Agustus 2016

Renungan Mengenai CINTA

Seringkali aku berpikir, bagaimana tiba-tiba seorang miliarder memberikanku uang sebanyak 100 miliar, apakah aku akan senang? Tentu aku senang. Aku bisa membeli baju, make up, mobil, gadget dengan fitur paling baru, dan hal lain yang kuinginkan. Namun ketika tiba-tiba Tuhan mengambil keluargaku dari hidupku apakah aku masih senang hidup dengan uang 100 miliar tadi? TIDAK! Karena uang tadi hanya memuaskan keinginan, sedangkan keluarga memenuhi kebutuhanku. Sesungguhnya salah satu penggerak utama mahluk hidup adalah cinta karenanya kita dapat melihat, merasa, dan berpikir. Aku pasti mati digilas semesta bila dulu tidak ada  keluarga yang menuntunku dengan cintanya untuk mengenal dunia. Sekalipun ada beberapa orang yang tumbuh tidak bersama keluarganya, pasti ada manusia lain yang iba dan memberikan rasa cintanya.

Setiap mahluk hidup memiliki nilai. Nilai-nilai tersebut tidak berdasarkan pada bagaimana rupa (fisik), agama, ras, suku, dan sejarah hidupnya.  Tetapi penentu seberapa berharganya diri seseorang adalah  dirinya sendiri. Seseorang  tidak bisa menilai mereka yang cacat, jelek, atau autis adalah produk gagal semesta sehingga dirinya berhak menilai mereka tidak berharga. Salah! Mereka sama-sama manusia, punya hati dan perasaan sehingga nilainya tidak ada bedanya dengan kita yang normal. Ingat, kita bukan hakim hidup, kita semua pemain.

Semua manusia punya jalannya sendiri untuk mematenkan nilainya agar mendapatkan cinta.  Seorang pujangga menciptakan sajak dari ratapannya. Dengan itu ia dapat selamanya menyimpan air mata dan senyuman dalam kata-kata sehingga pembacanya dapat mencintainya. Atau seorang ibu rumah tangga yang senang membagi duka lewat postingannya di media sosial untuk mendapat komentar atau  pelukan lewat udara dari teman dan kerabatnya. Atau seorang pengemis yang mengadahkan tangan sambil menangis untuk mendapat iba dari kita untuk berbagi. Inilah bukti bahwa kita membutuhkan atensi, kita semua butuh cinta. Walau tetap saja uang dibutuhkan untuk makan, tetap saja uang tidak akan menyempurnakan jiwa, uang tidak bisa menyembuhkan hati yang rusak. Satu-satunya yang dapat menyembuhkannya hanyalah cinta. Namun sayangnya, banyak remaja yang sekarang tidak mengetahui perihal ini. Mereka terjebak dalam kesadaran palsu. Dalam kebahagiaan semu yang mereka buat sendiri dan mengatasnamakan cinta untuk berbuat bebas tanpa aturan – seks bebas, alkohol, narkoba.  Tentunya, itu bukan pelarian yang tepat untuk memperbaiki hati. Bahwa satu-satunya jalan yang tepat untuk memperbaiki kerusakan itu adalah coba untuk mengenal cinta lebih jauh.

Sejujurnya, aku masih belum terlalu mengerti apa sebenarnya apa itu cinta. Aku hanya tahu bahwa cinta adalah merasakan. Kita hidup untuk merasakan, dari lahir sampai mati nanti, inti kehidupan ini adalah merasakan proses tersebut. Yang pasti, tujuan hidupku adalah untuk bahagia dan aku percaya bahwa semua orang juga menginginkan itu. Aku yakin cinta merupakan salah satu kendaraan paling tepat menuju kebahagiaan yang aku dan mereka semua mau. Jadi, apa salahnya kita hidup berdampingan dengan cinta tanpa harus menghakimi satu sama lain?

Salam, damai.
-Arfyana Citra R-