Selasa, 01 September 2015

Dosa Seorang Penuntut

Rasanya berat malam ini lagi2 ditemani kesepian dan kesendirian. Walaupun air mataku masih setia bertengger di pelupuk mata tapi siapa yg mau ditemani air mata kesedihan? Bukan kebahagiaan?

Aku mencoba menelan dosa seorang penuntut. Begitu sakit ketika ini menggelayut selama lebih dari seminggu. Apakah ini yg kamu rasakan saat lalu? Sesakit ini?

Maaf sayang, aku masih seorang penuntut bukan pemberi kasih.

Maaf sayang aku bukanlah yang terbaik, tp akan selalu ada usaha untukmu agar aku bisa terus cantik hati di depan hidup sang pemberi.

-Arfyana Citra R-

Minggu, 23 Agustus 2015

Ibadah Bukan Hanya

Ibadah bukan hanya perihal kita menengadahkan tangan, mengaitkan jari-jemari, maupun bersimpuh untuk merapal kalimat yang disucikan.

Ibadah bukan hanya menjadi ritual yang dilakukan guna meluruhkan kewajiban sebagai hamba, ataupun pelampiasan kesengsaraan. 

Ibadah bukan hanya duduk diam memamerkan telinga yang seolah-olah mendengar tapi terkunci.

Melainkan ibadah adalah sarana untuk mencari sinar yang dapat menuntun hamba dalam kegelapan fana yang menyesatkan jiwa. 

Oase yang menyuburkan jiwa di tengah keringnya dusta yang dilontarkan dunia yang mana akan menyedot segala kebajikan. 

Karena dalam setiap apapun bentuk ibadah adalah mencari  ketenangan dan segala bentuk kebaikan, bukan kesengsaraan dan ketidakacuhan Tuhan pada hambanya. 
-Arfyana Citra R-


Kegelapan dan Terang

Aku telah lewat dari masa saat kegelapan betah mengungsi di dalam pori-pori hidup.
Meskipun lewat, aku hanya lewat, belum membasminya karena kegelapan tak dapat dilenyapkan layaknya hama yang hidup dalam celah kulit kepala wanita desa.

Kegelapan dan terang merupakan hal yang saling melengkapi, sehingga tak akan ada yang dapat mengubur keduanya atau salah satunya dalam liang tanah.

Sesungguhnya kegelapan itu masih membayang di pundakku, menggelayut tapi masih kalut dan mengumpat karena sinarmu.

-Arfyana Citra R-

Seseorang

Bayangku sudah menjadi cahaya yang sudi menuntun langkahmu ke jalan yang mungkin sudah Tuhan takdirkan. 
Untuk kita.
Baik yang akan menuju akhir maupun awal baru nanti.
Aku memang bukan cenayang yang tahu menahu soal masa yang wujudnya masih kabur layaknya kabut di atas paku bumi, melainkan aku hanya seseorang yang yakin bahwa kita bisa bersatu guna memangkas kesedihan dan kesepian. 
-Arfyana Citra R-

Kamis, 02 Juli 2015

Aku memejam sambil terhempas nyiur harmoni dari kotak musik yang melagu tepat di sampingku. 
Semoga saja sakit pinggang dan perutku ikut terombang-ambing dan terdampar di daratan entah berantah, layaknya kapal yang digunakan Putroe Neng saat dirinya berniat menuju Peureulak.

Sekarang aku sedang menuliskan barisan kegiatan dan rahasia dari kenyataan perasaan dan niatku ke dalam buku harian. 
Namun tetap saja rahasia terdalam tidak berani kuungkap walau di atas kertas putih yang jiwanya masih polos. 
Walaupun raganya kertas tapi tetap saja pada dasarnya ia ini pohon. 
Aku teringat perkataan Khalil Gibran soal jangan salahkan angin ketika rahasia kita disebarkan kepada pepohonan. 
Memang, aku tidak sedang menuliskan rahasiaku kepada angin, tetapi bisa saja angin mengintip dan menyebarkan rahasia pada kulit pohon ini kepada pohon lain yang bernapas dan berakal. 
Lalu berhembus bebas dan membuat rahasiaku menjadi informasi umum. 
Jadi aku mengambil jalan tengah dengan menorehkan cerita-cerita terarah dengan latar belakang dan tokoh yang kuinginkan. Bila nanti barisan huruf ini tersingkap dan terekam, setidaknya arah pembicaraan dan pengakalannya masih bisa kuredam. 
-Arfyana Citra Rahayu-


Hampir Mati

Aku merasa di sini bukanlah lagi tempat berlindung yang tepat, dalam kamar dewa di tingkatan paling atas. Ini sudah hari ke tiga dan persisnya sudah tiga hari aku belum tidur sejak pertama kali pindah ke sini. Aku masih merasa aura kejahatan mengikuti, ia bersembunyi di pori-pori dinding. Aku tahu persis,  ketika aku lengah, ia sudah siap dengan ancang-ancangnya untuk menerkam. Ah sial... 

Lamunan itu buyar begitu saja ketika terdengar suara ketukan pada pintu, Tok tok, aku bergidik. Suara ketukannya tidak lembut dan tenang seperti ketukan Jupiter, ini lebih keras dan menggema. 
Pintu emas berhiaskan relik-relik tulisan Yunani kuno berwarna perak sedikit terbuka, perlahan-lahan membuka dari celah yang sedikit lama-lama melebar, melebar, dan memperlihatkan sosok yang aku kenal. Diriku sendiri. 

"Kau?! Mau apa ke sini?!" teriakku dengan nada panik sambil mencari benda yang bisa kulemparkan. Aku menengok ke segala arah dengan gelagapan untuk mencari benda yang tepat, aku langsung meraih jambangan kaca berisi bunga dengan serbuk pelangi di atas meja perak di sebelah kanan tempat tidurku. 

"Rasakan ini! Pergi kamu! PERGIIIII!!!!" jambangan itu kulemparkan sekuat tenaga ke arahnya. Mahluk itu  langsung menguap ketika benda yang kulemparkan persis mengenai perutnya. Jambangan langsung pecah mengenai lantai pualam dan menyisakan serakan serbuk pelangi serta pecahan kaca. 

"Yes! Rasakan itu!" kataku dengan girang.  

Senyum puasku langsung berubah menjadi teriakan yang tak kalah besar saat pertama kali melihat sosok tadi. Wussss,  kamarku dipenuhi kabut putih dengan bau apak serta angin kencang yang mengibaskan rambut dan seprai putih. Pintu-pintu lemari di sudut ruangan ikut terbuka lebar. Ada apa ini?!, batinku. Aku hanya bisa menganga ketakutan tanpa suara karena  kerongkonganku tercekat.

Kabut pun mulai berpilin tepat di serakan jambangan kaca yang pecah, kecepatannya yang luar biasa membuatnya lama-kelamaan memadat lalu berubah menjadi  sosok yang sama dengan ragaku, Ia benar-benar nyata

Sosok itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi geliginya yang berbehel. Ia jalan terpincang menuju ke arahku dengan metodis. 

Aku membeku di atas tempat tidur, tidak mampu bergerak dan hanya terperangah. Aku seperti ketindihan dalam tidur. Aku pasrah melihat sosok itu semakin mendekat lalu duduk tepat di depanku. Ia tersenyum puas. 

"Kau tadi bertanya, kenapa aku ke sini?" suaranya sedikit terbisik. 

Aku mencium bau apak dan tengik, entah itu dari tubuh atau mulutnya. Aku langsung bersin dan reflek mengucek hidungku sampai memerah. Astaga, kuncian itu sudah hilang!, aku langsung memutar tubuhku ke kanan dengan cepat dan berniat kabur, tapi sosok itu tidak kalah cepat untuk mengunciku lagi. 

"Berusaha kabur lagi? Kau selalu berusaha kabur dari dirimu sendiri! Dari kenyataan hidupmu! Puas kau meninggalkanku di pinggiran malam? Puas kau melihatku dilumat dan dicaci 'kebaikan'mu itu? Yang kau junjung tinggi dan dipamerkan?"

"Puas katamu? Bagaimana aku puas kalo tidak melihat langsung kebaikanku melumat sukmamu sampai habis! Aku akan puas ketika kau hilang dan tak lagi memunculkan sosok jelekmu di sini," jawabku dengan mata melotot. 

Sedetik setelah itu, ia langsung mencekik leherku, "Keparat kau mahluk kerdil! Melototlah terus sampai kamu kehabisan nyawa!" aku berusaha meraih tangannya tapi hasilnya nihil, aku seperti berusaha meraih udara, tidak ada tangan yang mencekikku. 

"Tak ada gunanya juga kalo aku membunuhmu di sini," perlahan cekikannya meregang dan lama-lama lepas. 

Badanku langsung terhempas ke depan, aku langsung mengambil napas sebanyak-banyaknya, "Hhh hhh hhh, keterlaluan kau." 

"Keterlaluan ya? Kau yang keterlaluan, Rif! Kau memanfaatkan aku untuk menjadikan kau manusia yang penuh tanda tanya. Kau memanfaatkan aku, mengatasnamakan namaku agar kamu bisa ditanya, dipertanyakan, dan diberikan perhatian," sosoknya semakin kuat, baunya semakin membusuk. "Ketika kau sudah puas menggunakannya kau hina dan hempaskan aku seperti sampah!" 

Aku menutup rapat lubang hidungku karena tidak kuat dengan busuknya, "Kenapa kamu menutup hidung?! Tidak kuat dengan baumu sendiri? Busukmu sendiri, ha?!" 

Aku diam karena sudah melihat kunang-kunang terbang di sekelilingku, aku bersyukur sebentar lagi aku pingsan. 

Mahluk itu terus mengoceh, "Ketika aku menyadari betapa bodohnya aku dimanfaatkan, perasaan untuk menyelubungimu dengan kegelapan semakin besar. Dan sekarang saat yang tepat, kau akan habis kutelan hidup-hidup!" 

Mulut mahluk itu melebar, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi  dan aku sudah lihat sosok mayatku seperti apa di pantulan matanya. Detik ini juga aku diterkamnya. Detik ini aku mati. 

"AAAAAAAAAAAH!!!!!!! Pergi kau Jahannam!!!!!" teriakku geram dengan sisa-sisa tenaga.

"KAU YANG JAHANNAM!!! SINI KAU!"

Detik-detik aku diterkam, pintu emas terhempas dan terbanting. Masuk para petinggi Olympus, Jupiter memimpin membawa senjata terbaiknya. Sosok itu masih tetap berada di tempatnya, masih membuat ancang-ancang untuk menerkamku. 

Jupiter tidak menggubrisnya dan langsung berlari ke arahku. Seketika aku merasakan cubitan kecil di lengan kananku, aku merasa ada aliran air masuk ke dalam tubuh. Aku tidak melihat lagi sosok menyeramkan diriku, hanya ada gelap, hitam, kelam, dan tenang. 

"Terimakasih Jupiter, kau selalu menyelamatkanku," bisikku.

-Arfyana Citra Rahayu-

Selasa, 30 Juni 2015

Sajak untuk Menghiburmu

Tidak ada tempat yang terlalu jauh apabila kita bersama, bernapas dengan udara yang senada dan bertukar rindu lewat doa.
Tetapi tempat akan terasa terlalu jauh ketika kita sedang bersama tapi sengaja memejam. sama-sama tak menyadari bahwa detik dalam pertemuan itu berharga sampai akhirnya kita tak bertukar kata.
Kita sempat seperti itu, berada dalam hati yg sama tapi acuh tak acuh. Kamu enggan melirik keadaan di sini dan aku pun sama, malas melancong ke wilayah teritorimu.
Tadinya aku akan begini sampai esok, lusa, atau mungkin beberapa hari ke depan. Berpikir, 'persetanlah dengan kamu, pikiran, dan keinginanmu!'.
Tapi nyatanya kata itu menguap begitu saja karena aku rindu melihat seulas senyum dari wajahmu. Rindu akan kilat matamu yg menyipit karena tertawa.
Padahal baru beberapa detik aku menghujat dan bersumpah tidak akan peduli dengan keadaanmu.
Lalu sumpahan itu berubah menjadi penyesalan karena telah berpikir sepicik itu.
Sayang, kamu dan segala hal tentangmu tak akan pernah bosen kujadikan ladang kerinduan. Jadi jangan buat kecemasan mengisolir dirimu dari kenyataan bahwa aku di sini punya niat yang besar untuk terus mempertahankan kita.
Satu pesan yang harus kamu ingat. Luapkanlah segala macam kecemasan yang menjerat dan mengikis sukmamu (apabila kamu sudah tahu jelas kecemasan thdp apa). Seberat apapun aku di sini akan berusaha membantu untuk melepaskan dan menenggelamkannya ke sisi terdalam kegelapan walaupun aku mesti ikut dan terjun ke dasarnya. Yang terpenting adalah keyakinanmu. Keyakinan utuh yang percaya bahwa masih ada kita.

Minggu, 24 Mei 2015

Di Jam 23:42 Untuknya

Tiap malam di saat waktu mulai memfasilitasi aku untuk berjalan dari dunia nyata ke mimpi selalu ada kamu yang terlintas di pikiranku. Sampai pada akhirnya abjad merangkai dirinya menjadi kesatuan cerita di atas kertas dari buku harianku.

Tiba-tiba terdengar seruan permintaan, "Hey Arfy! Kirimkan aku ke dia! ke orang yang kamu maksud di tulisan ini!"

"Ah! Aku takut dia gak ngerti," kataku dengan sedih.

"Please aku mohon.. cobalah untuk kali ini, aku yakin dia akan senang."

Aku pun menimbang-menimbang, Apa iya kukirim?, aku langsung mengambil handphone-ku dan langsung menulis rangkaian tulisan itu lewat email kepadannya, orang yang aku pikir dan tuliskan.

Surat malam untuk kamu,
dari orang yang menyayangimu

"Aku selalu berusaha untuk menyelipkan kata-kata di setiap spasi identitasmu.
Pertama kali aku lihat kamu, ga pernah terlintas di benakku kalo aku akan begitu menyayangi kamu dan bnr2 ga mengira kita akan sedekat ini. Tapi nyatanya perkiraanku salah. Saat ini kita saling melengkapi. Aku menyelipkan kata dan kamu nada. Akhirnya terbentuklah sebuah harmonisasi yang memaniskan waktu kita.

Sekarang tepatnya jam 23.42, perasaanku masih sama seperti pertama kali kita membuat keputusan untuk bersama di tanggal 16 April 2014. Sekarang aku ga bisa tidur dan terbayang semua hal yang sudah kita lakukan dan lewati, akupun menghabiskan waktu untuk menulis tentang kita. Ini salah satu jalan terbaik agar aku bisa cepat tidur dan bertemu denganmu di mimpi.
Ada satu tulisanku yang mau aku kasih tahu kamu.

  23.42

Sayang, aku percaya menaruh separuh kepercayaanku ke hidupmu walaupun aku hanya kata.
Setidaknya kamu tahu bahwa aku sangat terpacu. Terpacu untuk terus memalu dan memilin kebiasaan buruk yang akan kubentuk menjadi karakter yang luar biasa kompromi dengan sedikit manja.
Tak apa kan , Sayang?

Aku ingin menjadi seorang yang dapat berpikir terbuka dan dewasa karena kamu. Jadi untukmu dan kita, aku usahakan semampu dan sesemangat mungkin!
Untukmu aku ingin menjadi pribadi yang memiliki toleransi dan fleksibel dengan waktu untuk jiwa mudamu agar dipancuri rasa dari kobaran gejolak proses dewasa.
Aku percaya dan titip rasa ini untuk terus kau intip ketika ada rasa lain yang mencolekmu. Tolong taruh dan genggam rasaku di satu kantong bening tempat biasa kamu menyimpan hati.
Kelak ketika nanti ada perempuan lain mengelus satu saja ujung rambutmu, maka aku akan langsung memeluk leher dan mengelus seluruh rambut hitam serta mengecup ubun-ubunmu.
Aku begini bukan karena mau menguasai seluruh raga dan hidupmu, melainkan aku ingin kamu selalu ingat masih ada rasa yang kutitipkan dan berdampingan dengan hatimu.
Tenang sayang, aku begini bukan karena aku menomorsatukan cinta kepadamu ketimbang cinta Tuhan dan keluarga. Aku hanya punya rasa yang begitu dalam dan mengakar kuat sehingga aku tak mau hubungan ini dengan mudah tercerabut dari hidup dan jiwaku.
Aku harap kita bisa terus seperti ini.

Terima kasih untuk semua yang sudah kamu berikan, baik itu cinta maupun harta.
Salam, Arfy cengeng, manja, kepo tapi cantik yang akan selalu sayang sama kamu.
I LOVE YOU."


Sabtu, 28 Maret 2015

Seonggok Boneka di Pinggir Malam

Ketika seonggok boneka disayang dan dicurahkan berbagai rasa terpuji oleh tuannya kemudian selang beberapa lama ia ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja. Walaupun nantinya akan dipungut kembali apakah itu yang dinamakan sayang? Apa itu yang dinamakan cinta kasih? 

Ia tergolek lemah saat ini. Boneka itu dihantam beribu cercaan dan makian dari semesta yang saat ini masih belum puas menenggelamkannya ke dalam dasar nubuatnya sendiri. Kata mereka ia adalah manusia, tapi apakah pantas ketika seonggok barang rongsokan itu berpura-pura menjadi manusia? Mencoba beribu topeng agar manusia lain berkata bahwa ia adalah mahluk berakal dan berhati sepenuhnya. Miris sekali nasibnya.

Sebelumnya, ia dikemas begitu menarik dan rapih layaknya manusia lain yang dapat berjalan dan berpikir. Tapi apa daya ketika tuannya meninggalkannya begitu saja di pinggiran malam.  nasibnya tersesat dimakan pikirannya yang semakin menjeratnya. Kediriannya terekspos walaupun masih dalam kegelapan. Konsep dirinya diobral begitu saja dan lingkungan pun meludahinya walau hitamnya pekat. Boneka itu tidak lagi diterima oleh semesta dan sekarang ia tidak diterima oleh dirinya sendiri. Ia malu mengakui bahwa  dirinya hanyalah benda yang tak berarti dan tak tau terima kasih. Jiwanya mengemis meminta untuk dimanja namun tubuhnya menolak dan mencercanya dengan beribu makian sampai akhirnya keduanya menangis. Saat ini ia menyalahkan dirinya dan Tuan yang menurunkan dirinya ke dalam dunia nyata.

Tapi apalah arti sebuah rongsokan di mata kalian, memang tidak harus ditimbang lagi berapa berharganya boneka itu karena memang itu hanyalah produk gagal untuk dunia.  

-Arfyana Citra Rahayu-

Jumat, 27 Februari 2015

Aku Berharap Aku Ternyata Aku Hanyalah

Aku berharap, aku bintang tatkala punya seberkas sinar sendiri untukmu yang sepi. 
Ternyata aku. aku bulan yang mengelilingi kehidupan meminta cahaya dari yang lain.
Aku berharap, aku langkah simfoni yang memejamkan mata dan meneduhkanmu yang lara.
Ternyata aku, aku garis yang berbaris rapi di antara 1 dan 2 tanpa suara.
Aku berharap aku, aku tanah yang melahirkan cinta dan kehidupan untukmu.
Ternyata aku, aku hanya hujan yang tak jelas menyerbu alam, mengagetkan mereka dengan kilat dan suara hebat.

Ternyata aku, aku hanyalah kumpulan monad yang hanya membantu merangkai indah kehidupanmu.
-Arfyana Citra Rahayu-
(dari sajak lama yang ditemukan)

Sajak yang Ditemukan

Sunyi memuntahkan rangkaian huruf yang tak lagi satu. Mereka keluar dari sarang ditarik lembut oleh pena biru. Mata mereka berbinar, menatap takjub, menyapa sepi, dan aku yang terkapar.
Seolah ia baru dilahirkan dan langsung dewasa saat jadi kesatuan prosa.
Aku terbujur di antara dinding yang mengapit hebat sebuah ruh, dan masih bersyukur tidak diapit berhelai-helai kertas sampai mati.
Bersyukur tak harus diam berbaris, namun hati tetap menyumpah bahwa ini pembawa tangis.
Inilah seperti hidup dan manusia. Ia sebenarnya ingat namun pura-pura lupa, ia melihat tapi pura-pura buta, ia senang sambil menginjak yang sedih, dan yang paling parah adalah merasa harus penting menuntut dipentingkan padahal mereka tak berkorban apa-apa tetapi terus menarik paksa diberi dongeng berakhir bahagia.
Itulah manusia, meminta tanpa memberi sesuap sejarah pada waktu dan lembaran yang mengukirnya.
-Arfyana Citra R-